Beranda | Artikel
Kriteria Kubur Untuk Seorang Muslim.
Sabtu, 2 April 2022

Bab I
‘Aqidah Ahlus Sunnah Tentang Alam Kubur

5. Menghadiri Jenazah dan Mengantarkannya.
Mereka semua memotivasi agar menghadiri jenazah dan mengantarkannya, hal itu disukai karena pahala yang sangat besar bagi perbuatan tersebut. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam sebuah hadits:

مَنْ خَرَجَ مَعَ جَنَازَةٍ مِنْ بَيْتِهَا، وَصَلَّى عَلَيْهَا، ثُمَّ تَبِعَهَا حَتَّى تُدْفَنَ، كَانَ لَهُ قِيرَاطَانِ مِنْ أَجْرٍ، كُلُّ قِيرَاطٍ مِثْلُ أُحُدٍ، وَمَنْ صَلَّى عَلَيْهَا ثُمَّ رَجَعَ كَانَ لَهُ مِنَ اْلأَجْرِ مِثْلُ أُحُدٍ.

Siapa saja yang keluar bersama jenazah dari rumahnya dan menshalatkannya, lalu dia mengantarkannya sehingga selesai penguburan, maka dia membawa pahala sebesar dua qirath, satu qirath sebesar gunung Uhud. Dan siapa saja yang menshalatkannya, lalu kembali (sebelum dikubur), maka dia membawa pahala sebesar Uhud.”[1]

Alasan lainnya adalah bahwa hal tersebut me-rupakan hak-hak seorang muslim kepada yang lainnya. Hal ini sebagaimana diungkapkan di dalam sebuah hadits:

خَمْسٌ تَجِبُ لِلْمُسْلِمِ عَلَى أَخِيهِ: رَدُّ السَّلاَمِ، وَتَشْمِيتُ الْعَـاطِسِ، وَإِجَابَةُ الدَّعْوَةِ، وَعِيَادَةُ الْمَرِيضِ، وَاتِّبَاعُ الْجَنَائِزِ.

Ada lima hak seorang muslim yang wajib atas saudaranya sesama muslim, menjawab salam, menjawab orang yang bersin,[2] memenuhi un-dangan, menjenguk orang sakit, dan mengantarkan jenazah.”[3]

Dan dalam sabdanya yang lain, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أُمِرْنَا بِاتِّبَاعِ الْجَنَائِزِ.

Kita semua diperintahkan untuk mengantarkan jenazah.”[4]

6. Kriteria Kubur Untuk Seorang Muslim.
Mereka semua meyakini bahwa kubur yang digunakan oleh seorang muslim adalah lahad. Hal ini sebagaimana disabdakan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

اَللَّحْدُ لَنَا وَالشَّقُّ لِغَيْرِنَا.

“Liang lahad adalah kubur untuk kita sedangkan as-Syaq[5] untuk selain kita.”[6]

Tetapi kenyataannya seorang muslim bisa menggunakan keduanya, hal ini sebagaimana yang dilaku-kan pada zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, akan tetapi yang pertama, yakni lahad adalah yang paling utama.[7]

Dinamakan lahad karena kubur tersebut berbentuk sebuah lubang di samping galian kubur, lubang tersebut cukup untuk meletakkan mayit, lalu ditutupi dengan batu bata (atau dengan papan).[8]

7. Meninggikan Kubur dan Membuat Kubah di Atasnya adalah Perbuatan Bid’ah.
Mereka semua meyakini bahwa meninggikan kubur bukan merupakan ajaran Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak juga membangunnya dengan menggunakan batu dan batu bata, memplester, dan membuat kubah di atasnya. Semuanya itu adalah perbuatan bid’ah yang menyalahi ajaran Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam,[9] Rasulullah pernah mengutus ‘Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhu ke Yaman dan memerintahkannya agar tidak meninggalkan sebuah berhala kecuali dia harus menghancurkannya, atau sebuah kuburan yang ditinggikan kecuali dia harus merata-kannya.[10]

Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah meratakan setiap kuburan yang ditinggikan, begitu pula Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang mengapuri (mencat) kuburan dan mem-bangun sebuah bangunan di atasnya, dan membuat tulisan di atasnya, hal ini sebagaimana diungkapkan dalam sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

نَهَى رَسُـولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يُجَصَّصَ الْقَبْرُ وَأَنْ يُقْعَدَ عَلَيْهِ وَأَنْ يُبْنَى عَلَيْهِ.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang mencat kuburan, duduk di atasnya, dan membuat bangunan di atasnya.”

Di dalam riwayat lain:

وَأَنْ يُكْتَبَ عَلَيْهِ.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang menuliskan sesuatu pada kuburan.”[11]

8. Larangan Duduk di Atas Kubur dan Bersandar Kepadanya.
Mereka semua meyakini bahwa di antara ajaran Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah bahwa kuburan itu tidak dihinakan, tidak diinjak, tidak diduduki, dan disandari. Hal ini sebagaimana diungkapkan di dalam sebuah hadits:

َلأَنْ يَجْلِسَ أَحَدُكُمْ عَلَى جَمْرَةٍ فَتُحْرِقَ ثِيَابَهُ، فَتَخْلُصَ إِلَـى جِلْدِهِ، خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَجْلِسَ عَلَى قَبْرٍ.

Seseorang di antara kalian yang duduk di atas bara api, lalu bajunya terbakar dan menembus kulit. Hal itu lebih baik baginya daripada duduk di atas kubur.”[12]

9. Larangan Menjadikan Kubur Sebagai Masjid dan Menjadikannya sebagai Tempat Perayaan.
Mereka semua melarang untuk menjadikan kuburan sebagai masjid, kuburan-kuburan itu tidak boleh dimuliakan sebagaimana masjid untuk shalat di sampingnya atau menghadap kepadanya, tidak juga dengan menjadikannya sebagai tempat perayaan, dan tidak menjadikannya sebagai berhala. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan larangan yang sangat keras akan hal tersebut sehingga beliau melaknat orang yang melakukannya. Juga melarang untuk melakukan shalat menghadap ke arah kubur, melarang umatnya menjadikan kuburan sebagai tempat untuk perayaan, dan melaknat para wanita yang sering melakukan ziarah kubur.[13]

[Disalin dari Al-Qabru ‘Adzaabul Qabri…wa Na’iimul Qabri Penulis Asraf bin ‘Abdil Maqsud bin ‘Abdirrahim  Judul dalam Bahasa Indonesia KUBUR YANG MENANTI Kehidupan Sedih dan Gembira di Alam Kubur Penerjemah Beni Sarbeni Penerbit  PUSTAKA IBNU KATSIR]
______
Footnote
[1] HR. Muslim kitab al-Janaa-iz, bab Fadhlush Shalaah ‘alal Janaa-iz wattibaa’uha (no. 945 (56)), dari hadits Abu Hurairah dan ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma
[2] Maknanya adalah menjawab orang yang bersin dengan ber-kata Yarhamukallah jika orang yang bersin mengatakan Alham-dulillah sebelumnya.-Pent.).
[3] HR. Al-Bukhari kitab al-Janaa-iz, bab al-Amru bittibaa’il Janaa-iz (no. 1240). Dan Muslim kitab as-Salaam, bab Min Haqqil Muslim lil Muslim Raddus Salaam (no. 2167 (4)) dari hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu.
[4] HR. Al-Bukhari kitab al-Janaa-iz bab al-Amru bittibaa’il Janaa-iz (no. 1239).
[5] Kuburan dengan lubang di tengah dan di sekitarnya bata.-Pent.
[6] Hadits Shahih diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 3208), at-Tirmidzi (no. 1045), an-Nasa-i (IV/80) dari hadits Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma. Hadits ini dishahihkan oleh al-Albani dengan beberapa penguat sebagaimana diungkapkan di dalam kitab beliau Ahkaamul Janaa-iz, hal. 145.
[7] Lihat kitab Fat-hul Baari (III/218) dan kitab Ahkaamul Janaa-iz, hal. 144, 145, karya al-Albani.
[8] Fat-hul Baari (III/213).
[9] Zaadul Ma’aad (I/524).
[10] HR. Muslim, kitab al-Janaa-iz, bab Taswiyatul Qabr (no. 969 (93)), dari hadits Abul Hayyaj al-Asadi.
[11] HR. Muslim, kitab al-Janaa-iz, bab an-Nahyu ‘an Tajshiishil Qabri wal Binaa ‘alaihi (no. 970), dari hadits Jabir Radhiyallahu anhu. Sedangkan tambahannya (وَأَنْ يُكْتَبَ عَلَيْهِ) adalah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 3226), tambahan ini dishahihkan oleh al-Albani dalam Ahkaamul Janaa-iz, hal. 204.
[12] HR. Muslim, kitab al-Janaa-iz, bab an-Nahyu’ anil Juluus ‘alal Qabri was Shalaah ‘alaihi (no. 971 (96)), dari hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu
[13] Lihat kitab Zaadul Ma’aad (I/525, 526), karya Ibnul Qayyim, Fat-hul Majiid, hal. 264, karya Syaikh ‘Abdurrahman bin Hasan, dan kitab Tahdziirus Saajid min Ittikhadzil Qubuur Masaajid, karya al-Albani.


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/54320-kriteria-kubur-untuk-seorang-muslim.html